JAKARTA, JOURNALPOLICE.COM - Pernyataan
kontroversial dan dinilai politis dari Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo
belakangan ini mengundang reaksi dari berbagai kalangan masyarakat sipil maupun
pengamat. Sebelumnya, beredar rekaman suara Panglima TNI di media sosial
saat berbicara dalam acara silaturahim Panglima TNI dengan purnawirawan TNI di Markas Besar TNI, Cilangkap, Jakarta Timur.
saat berbicara dalam acara silaturahim Panglima TNI dengan purnawirawan TNI di Markas Besar TNI, Cilangkap, Jakarta Timur.
Dalam rekaman itu, Panglima TNI menyebut
adanya institusi nonmiliter yang membeli 5.000 pucuk senjata. Panglima TNI juga
bicara soal larangan bagi Kepolisian untuk memiliki senjata yang bisa menembak
peralatan perang TNI. Belakangan, Panglima TNI mengakui bahwa rekaman tersebut
memang pernyataannya. Namun, Gatot menegaskan bahwa pernyataan itu bukan untuk
publik. Sehingga, ia tidak mau berkomentar lagi soal substansi pernyataan dalam
rekaman itu.
Menanggapi pernyataan Panglima TNI, Menteri
Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto menjelaskan bahwa
institusi non-militer yang berniat membeli senjata api adalah Badan Intelijen
Negara (BIN) untuk keperluan pendidikan. Jumlahnya tak mencapai 5.000 pucuk,
tetapi hanya 500 pucuk. BIN juga sudah meminta izin ke Mabes Polri untuk pembelian
senjata itu. Izin tak diteruskan ke TNI lantaran spesifikasi senjata yang
dibeli BIN dari Pindad itu berbeda dengan yang dimiliki militer.
Peneliti Lembaga Studi Pertahanan dan Studi
Strategis Indonesia (Lesperssi), Beni Sukadis, berpendapat bahwa munculnya
pernyataan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo yang terkesan politis
disebabkan karena tidak berjalannya reformasi di sektor keamanan. "Setelah
UU TNI tidak ada lagi acuan untuk menegaskan kontrol sipil atas militer. Karena
reformasi sektor keamanan setelah 2004 sampai sekarang itu mandek," ujar
Beni saat memberikan keterangan pers di kantor Imparsial, Tebet, Jakarta
Selatan. Berangkat dari polemik pernyataan Panglima TNI belakangan ini, Beni
menilai perlunya reformasi di sektor pertahanan sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI. Menurut Beni, saat ini posisi
Panglima TNI dipandang setara dengan Menteri Pertahanan, karena bertanggung
jawab langsung kepada presiden.
Beni menjelaskan, dalam bagian penjelasan UU
TNI, disebutkan secara jelas bahwa ke depan institusi TNI berada di bawah
Kementerian Pertahanan. Dengan begitu, diharapkan tidak lagi ada dualisme dalam
hal kebijakan strategis maupun anggaran.
Di satu sisi, seorang Panglima TNI akan
fokus dalam meningkatkan profesionalisme TNI. "Jadi tidak ada dualisme
dalam membuat kebijakan strategis dan operasional terkait penggunaan kekuatan
TNI," ucap Beni. Beni menilai, dengan posisi Panglima TNI yang sejajar
dengan Menteri Pertahanan, maka ada kekhawatiran memunculkan dampak politis
terhadap TNI. Panglima TNI pun dikhawatirkan menjadi figur politik. "Sehingga
dia merasa sebagai figur politik bukan figur tentara profesional," kata
dia.
Hal senada juga diungkapkan oleh peneliti
Imparsial Ardi Manto. Menurut dia, Presiden Jokowi dan DPR harus mendorong
realisasi reformasi sektor keamanan untuk menciptakan aparat keamanan yang
profesional dan tidak kontroversial. "Kami mendesak kepada Presiden dan
DPR untuk melakukan evaluasi secara menyeluruh atas sektor pertahanan untuk
mendorong terciptanya sektor pertahanan yang baik, kuat dan profesional,"
ujar Ardi.
Jenderal
Gatot Nurmantyo Ciptakan Kontroversi
Ardi menuturkan, berdasarkan catatan
Imparsial, Panglima TNI Gatot Nurmantyo beberapa kali bersikap kontroversial.
Gatot, kata Ardi, pernah memantik polemik dengan hadir di dalam Rapimnas salah
satu partai politik serta menyampaikan kritik terhadap pemerintah melalui
sebuah puisi. Selain itu, Gatot juga dinilai pernah membuat kebijakan yang
tidak sejalan dengan UU TNI, yakni membuat berbagai nota kesepahaman atau MoU
dengan instansi pemerintah lainnya. Menurut Ardi, Pasal 7 ayat 2 dan 3 UU TNI
menyebutkan bahwa Operasi Militer Selain Perang (OMSP) hanya bisa dilakukan
melalui keputusan politik negara, bukan melalui MoU.
Lebih lanjut, Panglima TNI juga pernah
memantik konflik terbuka dengan Menteri Pertahanan ketika melakukan rapat kerja
di DPR yang sempat diliput oleh media melalui pernyataan dan sikapnya terkait
masalah anggaran. "Pernyataan dan sikap itu menciptakan hubungan yang tidak
konstruktif antara Panglima TNI dan Menteri Pertahanan yang akan mempengaruhi
sektor pertahanan," kata Ardi. ( Team JP )