“SBI yang diterbitkan tahun
2012 sebanyak 9.000 lembar itu, masing-masing lembar bernilai Rp 500 milyar.
SBI tersebut diteken oleh Gubernur Bank Indonesia yang saat itu dijabat oleh
Darmin Nasution . Kini ia menjabat Menteri Koordinator Perekonomian dalam
Kabinet Kerja Jokowi”
Tak sedikit berita
yang beredar, nasabah bank kehilangan uangnya baik dalam jumlah kecil maupun
besar. Ada pembobolan melalui atm adapula melalui sistem transaksi antar bank.
KYC (Know Your Costumer) bank umumnya disalahgunakan untuk memanfaatkan
kekurangan nasabah.
Seorang konsultan
keuangan senior berbasis di Hong Kong yang kini bermukim di Jepang Desmond
Conway mengatakan, begitu banyak dana investasi yang dikirim ke bank di Indonesia
tetapi hilang lenyap tak berbekas hingga kini. Sedangkan bank pengirim sudah
dengan tegas menyatakan bahwa uangnya sudah terkirim dengan baik.
Barangkali
pernyataan di atas ada hubungannya dengan isu yang beredar bahwa sedikitnya ada
sekitar Rp 3.000 trilyun yang seakan tak bertuan di Bank Indonesia hingga saat
ini. Patut diduga nilai itu malah lebih. Seperti yang dibicarakan oleh keluarga
Danarasa yang saat dihubungi penulis mengatakan bahwa Sertifikat Bank Indonesia
(SBI) senilai Rp 4.500 trilyun yang menggunakan namanya hingga kini tak jelas
juntrungannya. Dokumen tersebut berbasis Dollar US yang ada di Commonwealth
Bank.
SBI yang diterbitkan tahun 2012 sebanyak 9.000
lembar itu, masing-masing lembar bernilai Rp 500 milyar. SBI tersebut diteken
oleh Gubernur Bank Indonesia yang saat itu dijabat oleh Darmin Nasution . Kini
ia menjabat Menteri Koordinator Perekonomian dalam Kabinet Kerja Jokowi.
Belum lagi tentang
raibnya dana Angga Yan Parica di Bank Mandiri Bekasi senilai Rp104 trilyun
tanpa ada penjelasan yang memuaskan dari pihak bank. Bahkan nasabahnya
dikriminalisasi. Ia kemudian dimasukan ke penjara tanpa proses hukum. Bahkan
surat kematiannya dibuat dari rumah sakit di Jakarta, padahal nasabahnya
sendiri masih hidup.
Masih soal bank
plat merah. Kasus yang yang terbaru adalah raibnya uang nasabah milik Erma
Susilawati di BRI Unit Kadipaten Majalengka Jawa Barat. Uang nasabahnya
bernilai Rp1,5 trilyun. Uang yang masuk ke tabungan Britama masih tercatat utuh
tahun 2015 sebesar Rp1,5 trilyun. Akhir September 2016 uang nasabah BRI yang
berstatus terblokir itu masih tersisa Rp 500 milyar. Ketika awal 2017 ini ada
kabar bahwa uang Erma Susilawati tersebut sudah ludes. Padahal nasabahnya
sendiri tidak tau menahu. Jangankan mengambil uang, kartu ATM saja tidak
diberikan.
Masih banyak kasus
lainnya yang kesemuanya terjadi pada bank justru milik Pemerintah. Umumnya,
dasar perminannya bermula dari KYC (Know
Your Costumer) bank. Ketika seorang nasabah bank yang bila dilihat dari
segi penampilannya tak memungkinkan punya kiriman trilyunan rupiah, maka pihak
bank lebih memilih mendiamkan kabar adanya pengiriman uang ke rekening
nasabahnya. Padahal pihak bank tidak tau kalau nasabahnya adalah seorang
keturunan kerajaan Nusantara yang memang memiliki uang dalam jumlah besar di
luar negeri.
Berbulan-bulan,
bahkan tahunan uang nasabah tadi didiamkan. Lalu secara perlahan tapi pasti
uang nasabah tadi dimanipulasi. Bahkan menurut seorang pensiunan bank plat
merah menuturkan kepada penulis bahwa uang yang seperti ini biasanya akan
berakhir dengan memasukannya kedalam buku keuntungan bank. Artinya, seharusnya
bank dinyatakan rugi, tetapi dengan adanya uang tidur yang “tidak bertuan”
tadi, dijadikan sebagai bagian dari profit bank.
Cara lain yang
sudah menjadi permainan kalangan perbankan adalah memperdagangkan data nasabah
yang bersangkutan kepada pihak lain dengan status dana yang siap
diinvestasikan. Seperti contoh uang yang dikirim dari Barclay Bank New York di
Bank Mandiri Singapura senilai USD4,8 milyar telah dikloning dengan berbagai
nama nasabah dengan nomor rekening yang sama.
Jika diikuti
perjalanan kasus demi kasus di dunia perbankan kita, bank sepertinya
memberlakukan dua buah pertanyaan dasar kepada setiap para pihak mempertanyakan
status uang besar dalam rekening nasabahnya. Pertama, apakah Anda percaya ada
orang Indonesia yang punya uang segitu banyaknya? Kedua, bagaimana mungkin Anda
percaya, sedangkan nasabahnya sendiri tidak memiliki usaha atau pabrik yang
menyebabkan dia memiliki uang yang banyak?
Kedua pertanyaan
tadi masuk dalam logika sehat manusia manapun di era sekarang. Sehingga
argumentasi apapun dengan dua pertanyaan dapat mematahkan niat seseorang atau
lembaga untuk melakulan audit kepada bank. Pihak bank nampaknya berhasil
mengelak atau menutupi moral hazard-nya dengan berlindung pada dua pertanyaan
tadi. Kedua pertanyaan tadi sama nasibnya dengan ada tidaknya harta amanah
Soekarno.
Secara logika semua
orang tidak percaya. Mana mungkin Soekarno dititipi harta sebanyak itu (nilai
tak terhingga) sedangkan saat beliau menjadi Presiden RI, inflasi saja sampai
1000%. Untuk selamatkan ekonomi negara, Soekarno lakukan pemotongan nilai uang
dan segala macam kebijakan lainya yang tidak populer. Jangankan titipan harta
atau uang yang banyak oleh PB X (seperti sering penulis sampaikan), sekedar
untuk menebus obat ke dokter saja Soekarno ditolongi oleh pegawai istana secara
urunan ketika itu (kata Prof. Dr. Asvi Warman Adam ketika bedah buku “Harta
Amanah Soekarno” di Universitas Paramadina, 2014).
Pergolakan logika
ini telah memuluskan proses kesewenangan dan korupsi di lingkungan perbankan.
Bahkan ada pihak-pihak yang memang sengaja dipelihara oleh oknum bank untuk
melakukan transaksi atau pemindah-bukuan secara online antar rekening nasabah
secara ilegal. Ini terbukti banyaknya nasabah bank yang kehilangan uang dalam
jumlah besar, tetapi pada sisi lain ada nasabah bank yang ketiban rezeki
nomplok secara mendadak.
Banyak nasabah bank
yang terkejut tiba-tiba di rekeningnya ada kiriman puluhan atau bahkan ratusan
trilyun rupiah. Akan tetapi yang salah kirim biasanya pihak bank langsung
memberikan klarifikasi langsung kepada nasabahnya. Pihak bank pun meminta maaf
atas ketidak-nyamanannya akibat salah kirim tadi. Sang nasabah pun dengan
senang hati mengembalikannya. Tetapi tidak demikian kasus Erma Susilawati di
BRI Unit Kadipaten.
Jika bank adalah
ibarat jantung dalam tubuh manusia. Maka bank bertugas memompakan aliran uang
ke seluruh masyarakat. Semakin bagus kinerja bank memompakan uangnya, maka semakin
bagus pula perekonomian suatu negara. Sebaliknya, apabila jelek kondisi
perbankan suatu negara maka dijamin bahwa perekonomian negara itu pasti buruk.
Bisa jadi sulitnya ekonomi Indonesia yang tak pernah henti walaupun Pemerintah
Jokowi sudah mencoba menerapkan berbagai kebijakan fiskal, adalah banyaknya
kolesterol dalam aliran keuangan dan bank sebagai jantung ekonomi tadi.
Artinya dampak
buruk moral hazard dunia perbankan sama dahsyatnya dengan teroris dan korupsi
uang negara. Apalagi ini dilakukan oleh bank milik Pemerintah. Maka tidak ada
alasan bagi KPK untuk tidak melakukan audit dan investigasi mendalam terhadap
kasus-kasus mendera nasabah bank dan kasus perbankan lainnya yang berkembang
belakangan. Kini sudah saatnya KPK bertindak.
Oleh karenanya jangan sampai adalagi korban
seperti Erma Susilawati, Angga Yan Parica, keluarga Danarasa, dan masih banyak
korban lainnya, maka Pemerintahan Jokowi segara berlakukan 3 UU baru di bidang
keuangan dan perbankan. Yakni, UU Pengelolaan dan Perlindungan Aset Bangsa, UU Bullion Bank, dan UU
Offshore Banking and Financing.
Salam Perjuangan Wahai Anak Indonesia